Saya nggak tahu kenapa, saya memang suka banget baca novel, tapi saya nggak bakal beli itu novel sebelum itu novel jadi best-seller. Muehehehe… Kalo nggak best-seller, pastilah itu novel pengarang favorit saya.
Dan kebanyakan, buku novel yang saya punya itu agak susah di cari. Mengingat itu buku best-seller dan belum di cetak ulang pada saat saya beli itu buku.
Dan salah satu dari buku itu adalah… Dear John karya Nicholas Sparks. 😀
Nama Nicholas sendiri pun nggak perlu di raguin lagi dalam dunia pernovelan(?). Beberapa karyanya sangat laris di dunia pecinta buku. Sebut aja, the Notebook atau A Walk To Remember. Dan di postingan kali ini, saya bakal sedikit menceritakan soal Dear John, yang juga sudah di film kan. 😉
Ah, iyaa… Btw, saya nggak terlalu peduli sama kisah cintanya, yang saya peduliin adalah… Dad and John. Jadi di postingan kali ini bercerita soal Dad and John.
John Tyree, seorang anak dari pengantar surat yang tinggal di daerah yang cukup strategis. Ia tak kaya tapi juga tak miskin. Semuanya biasa saja. Ayahnya adalah pengumpul koin lama, alias kolektor. John kecil dan ayahnya suka perpergian demi mencari sekeping koin. Dan ada sebuah kenangan yang selalu terukir di hati John, fotonya dengan ayahnya, satu-satunya foto yang John dan ayahnya punya sekaligus satu-satu foto yang ada di rumah itu. :’)
John hidup tanpa seorang ibu. Menurut ayahnya, ibu John pergi karena tak bisa menerima masa mudanya disita karena hamil muda.
Waktu telah berlalu, John remaja hidup dalam dunia pembrontakkan. Setiap John lagi badmood, ayahnya mencoba menengnangkannya dengan biacara soal koin. Mengulang kembali kisah-kisah saat perburuan koin, juga tentang foto pertama mereka. Hal itu terus berulang-ulang hingga akhirnya John kesal dan berkata kalau dia benci koin dan jangan pernah ngomong soal koin di depannya. Sejak saat itu, hubungan John dan ayahnya parah. Sangat luar biasa parah. Saat John pergi ke ruang kerja ayahnya, kebetulan ayahnya sedang memeriksa koin-koin, ayahnya langsung ‘menyingkirkan’ koin-koin itu dari hadapan John. Bukan hanya itu, foto John dan Ayahnya sudah tak ada di tempatnya. 😥
Dan mereka hidup dalam lingkaran yang terus berputar. Tak ada garis lain.
John muda setelah menyelesaikan sekolahnya, akhirnya merasa ‘tak berguna’. Dirinya bosan dengan dirinya yang terus berkerja paruh waktu, bermain wanita, dan pergi ke club malam. Pokoknya kacau balau deh. Saat itu ia merasa tak punya tujuan hidup.
Bukan hanya itu saja, John ternyata pengen memperbaiki hubungannya dengan ayahnya, meski ayahnya tak terlalu menanggapi, tapi John mengerti. Hingga akhirnya John masuk ke dalam dunia militer.
Awalnya John pengen masuk angkatan Laut, mengingat dia itu jago berenang dan berselancar. Hidupnya bisa dikatakan di habiskan di laut. Tapi saat akan mendaftar, tempat pendaftaran AL sedang istirahat, mau nggak mau John akhirnya pindah haluan ke Angkatan Darat. -__-
Dua tahun pertama John bisa dikatakan ‘cukup baik’. Kalau nggak salah, dia dinas ke Jerman, lalu pergi ke Irak atau Iran ya? Hehehe…
Yah, pokoknya dia cukup senanglah di dunia militer. Hingga akhirnya… Cuti musim panas tiba. Di pantai dia bertemu dengan Savannah, seorang gadis yang manis dan punya jiwa kemanusiaan yang besar. Savannah sangat dekat dengan kedua orang tuanya, beda dengan John. Singkat cerita, John dan Savannah akhirnya menjalin hubungan, entah hubungan apa *plak!
Savannah punya sebuah cita-cita, yaitu memiliki tempat untuk anak-anak autis, dimana anak-anak autis itu bisa belajar dengan kuda, keluarga Savannah adalah pecinta hewan. Dan ide itu ia dapatkan dari Tim (sahabat baik Savannah dan dia pria), yang kebetulan memiliki adik yang autis. Tim dengan sabar mengajari adiknya dengan media kuda.
Setiap makan malam, John selalu bercerita tentang Savannah ke ayahnya. Meski ayahnya tak menanggapi. Saat sarapan John juga bercerita soal Savannah, dan ayahnya juga melakukkan hal yang sama. Setiap pagi mereka saling menyapa, sang ayah sedang memasak steak, lalu John menawarkan bantuan. Dan selalu berulang-ulang di jam yang sama. Saat malamnya, kalau John nggak sama Savannah, mereka akan mengobrol di meja makan. Makan makanan yang sama dengan hari sebelumnya, dan hanya John yang terus berceloteh ria, sedangkan sang ayah sibuk dengan makanan dan sekali-kali membalas dengan mengucapkan ‘oh’. Dan itu yang terjadi setiap hari.
Hingga akhirnya… Savannah meminta John untuk mempertemukan dirinya dengan ayah John.
Awalnya John bingung, bahkan berkata berkali-kali bahwa ayahnya itu membosankan. Tapi Savannah kekeh pengen ketemu. Hingga akhirnya ia mengajak Savannah makan malam bersama.
Dan Savannah cukup tertarik dengan ayah John. Dan seperti yang di duga John, ayahnya mengajak Savannah melihat-lihat koleksi koinnya. Menceritakan dengan detail tentang koin-koinnya dan Savannah tampak antusias.
Oh iya, btw… Savannah juga tahu soal kebiasaan ayah John karena John yang cerita. 😀
Dan… Cuti musim panas akhirnya akan berlalu. Savannah meminta John datang ke suatu tempat, mengingat mereka akan berpisah karena John akan kembali bertugas di militer.
Dan… Savannah memberikan John sebuah buku, Savannah juga meminta John berjanji untuk membaca buku itu hingga habis apapun yang terjadi. Buku tentang syndrom Asperger. Kalo nggak salah namanya itu.
Lalu Savannah langsung berkata, bahwa mungkin ayah John terkena syndrom Asperger. Mendengar hal itu, John langsung marah. Ia tak terima dengar perkataan Savannah yang seolah-olah mengatakan bahwa ayahnya memiliki keterbelakangan mental.
Tapi tenang… Savannah sama John nggak marahan lama kok! Mereka juga nanti baikan 😉
Oh, iya.. Syndrom Asperger kalo nggak itu syndrom membuat pengidapnya nggak bisa lepas dari kebiasaannya. Mereka bukannya tidak ingin merubah kebiasaannya, tapi memang tak bisa. Dan ada tingkatannya juga, dari biasa aja sampe parah.
Hari-hari berlalu… Terus berlalu, cuti musim panas kedua John setengahnya ia habiskan bersama keluarga Savannah dan setengahnya lagi ia pergi ke rumah ayahnya. Dan ia kembali ke militer.
Hingga akhirnya, John menerima kabar kalau ayahnya terkena serangan jantung. Syok? Sudah pasti. John langsung mendapatkan cuti darurat untuk melihat ayahnya. Dan ternyata, ayahnya nggak bisa terbiasa dengan rumah sakit, mengingat itu di luar kebiasaan setiap harinya. Dan John memutuskan untuk merawat ayahnya di rumah. 🙂
Dan hubungan John dan ayahnya sudah sangat membaik. Sebelum John pergi waktu cuti musim panas sebelumnya, John bahkan bilang kalau ia menantikan cerita-cerita soal koin-koin ayahnya. Dan ayahnya bilang kalau ia menyukai Savannah. 🙂 how sweet~~
Nah.. Menyadari cutinya nggak lama lagi, John meminta tetangga rumah sebelah yang notabennya seorang perawat untuk menjaga ayahnya.
Dan John kembali ke militer.
Tapi cerita belum berakhir.
John kembali ke rumah ayahnya saat mendapat cuti. Dan… Betapa syoknya John ketika melihat rumahnya. Kaleng-kaleng makanan berserakan di dapur dan belum di buang, sprei kasur ayahnya yang belum di ganti, dan lain-lain. John geram dengan tetangganya, bagaimana mungkin ia bisa begitu kejam.
Tapi perasaan itu luluh ketika melihat ayahnya yang sudah mulai tua dan di gerogoti penyakitnya. Ia tak bisa bangkit dari tempat tidur sekarang. Keadaan semakin memburuk. Dan percakapan yang selalu melengket di hati saya adalah:
“Hai Dad.”
“Hai John.”
“Aku menyayangimu, Dad.”
“Aku menyayangimu juga, John.”
😥
Dan saat tetangganya datang untuk melihat ayahnya, John langsung membuka pintu dan menatap tetangganya geram. Tetangga itu menjelaskan bahwa anaknya sedang sakit juga dan ia sulit membagi waktu. Awalnya John masih kesal, tapi akhirnya ia mengerti juga. :’)
Dan tetangganya mengusulkan untuk membawa ayahnya ke rumah perawatan(?). Saya lupa namanya, maaf. Disana, ayah John akan di urus dengan baik, tetangga itu juga menunjukkan tempat yang bagus yang ia tahu.
Awalnya John ragu. Mengingat tempat itu di luar kebiasaan ayahnya. Tapi tidak mungkin kan kalau hanya tetangganya itu yang bisa ia andalkan. Dan ini kutipannya:
“Malam itu, aku menyinggung soal kepindahan kepada ayahku. Aku akan pergi dalam beberapa hari dan tidak punya pilihan, tak peduli betapa ingin aku menghindarinya.
Dia tidak bersuara saat aku berbicara. Aku menjelaskan alasan-alasanku, kekhawatiranku, harapanku agar dia mengerti. Dia tidak bertanya apa pun, tapi matanya membelalak kaget, seolah-olah dia baru mendengar hukuman matinya sendiri.
Setelah selesa berbicara, aku benar-benar butuh waktu untuk sendirian. Aku menepuk kakinya dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Ketika aku kembali ke ruang tamu, ayahku tengah meringkuk di sofa, sedih dan gemetar. Itu pertama kalinya aku melihat dia menangis.” Dear John hal. 286, Nicholas Sparks.
Ya, ayahnya setuju. Dan saat ayahnya menginjakkan kakinya ke tempat itu, ayahnya langsung takut. 😥
Tapi John mencoba menenangkan dan berkata semua baik-baik saja. Dan akhirnya ayahnya mengerti meski tetap ketakutan. Dan John kembali ke militer. Hingga akhirnya ayahnya meninggal, tujuh minggu setelah ia pergi.
Mungkin kalau saya yang nulis nggak bakal dapet feel-nya. :’) sorry…